22 November 2012

Penetapan wilayah pertambangan ditentukan Pemda


Penetapan wilayah pertambangan ditentukan Pemda




Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penetapan wilayah pertambanagan (WP) yang dilakukan setelah ditentukan oleh pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
MK mengabulkan sebagian pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang diajukan oleh Bupati Kabupaten Kutai Timur H Isran Noor.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," kata Ketua Majelis Hakim Mahfud MD, saat membacakan putusan di Jakarta, Kamis.
MK menghapus frasa "setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah" dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 9 ayat (2), Pasal 14 ayat (1), dan Pasal 17 UU Minerba bertentangan dengan UUD1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "setelah ditentukan oleh pemerintah daerah".
MK juga menghapus frasa "Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan" dalam Pasal 14 ayat (2) UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Penentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh".
"Pasal 6 ayat (1) huruf e UU Minerba selengkapnya menjadi, `Penetapan WP yang dilakukan setelah ditentukan oleh pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia`," kata Mahfud.
Sedangkan Pasal 9 ayat (2) UU Minerba selengkapnya menjadi: "WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah ditentukan oleh pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia".
Pasal 14 ayat (1) menjadi: "Penetapan WUP dilakukan oleh Pemerintah setelah ditentukan oleh pemerintah daerah dan disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia".
Pasal 14 ayat (2) selengkapnya menjadi: "Penentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan berdasarkan data dan informasi yang dimiliki Pemerintah dan pemerintah daerah".
Pasal 17 selengkapnya menjadi, "Luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara ditetapkan oleh Pemerintah setelah ditentukan oleh pemerintah daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh Pemerintah".
Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa urusan pemerintahan dalam menetapkan WP, WUP dan batas serta luas WIUP, bukanlah termasuk urusan pemerintahan yang mutlak menjadi urusan pemerintah pusat dalam rangka menjamin kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia, tetapi merupakan urusan pemerintahan yang bersifat fakultatif yang sangat tergantung pada situasi, kondisi dan kebutuhan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan.
"Menurut Mahkamah untuk menentukan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat fakultatif haruslah berdasarkan pada semangat konstitusi yang memberikan otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah," kata Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, saat membacakan pertimbangannya.
Oleh karena itu, kata Hamdan, pembagian urusan pemerintahan dan kewenangan yang bersifat fakultatif harus berdasarkan pada situasi, kondisi dan kebutuhan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan serta prinsip demokrasi.
"Terkait dengan sumber daya alam, harus pula mempertimbangkan prinsip keadilan dan keselarasan dalam pemanfaatan sumber daya alam, dalam hal ini Minerba," kata Hamdan.
Menanggapi putusan ini, Kuasa Hukum Pemohon, Robikin MH, mengatakan ada tiga isu hukum utama yang dimohonkan, yakni definisi wilayah pertambangan, kewenangan menetapkan izin pertambangan, masa peralihan dan kewenangan untuk melanjutkan kontrak.
"Putusan mahkamah pokoknya sesuai dengan pendapat kami dan menyatakan bahwa penetapan wilayah pertambangan ditentukan oleh daerah, kemudian secara bertingkat dijalankan oleh pemerintah pusat," kata Robikin.
Dia juga berharap para pelaku usaha tidak perlu khawatir terhadap putusan MK. (tp)

Tidak ada komentar: